Rabu, 12 Juni 2013


Kayu Dan Kegunaannya

Dikalangan masyarakat kita, terutama yang ada di Pulau Jawa, ada yang mempunyai keyakinan bahwa untuk beberapa jenis kayu tertentu, ada yang memiliki daya gaib dan khasiat tertentu. Asal kayu tersebut bisa saja karena berasal dari pohon atau kayu bekas tempat keramat atau yang dikeramatkan seperti makam leluhur, para Wali atau karena langka, susah mendapatkannya atau bisa juga karena memiliki sifat khusus yang tidak dimiliki kayu lain.

Derajat tuah kayu tergantung dari tempat tumbuh, lingkungan dan tata cara pengambilannya yang kadangkala memerlukan sesajian. Selain itu gambar yang ada pada kayu karena proses alam atau pembusukan atau penyakit pohon kadangkala diyakini memiliki pengaruh gaib juga, contohnya Pelet Kendhit pada warangka keris dari kayu Timaha dipercaya memiliki daya mengikat tamu hingga mereka tidak meninggalkan tempat hajatan sebelum acara selesai.



Ternyata kepercayaan ini terdapat juga dibeberapa suku bangsa lain, bukan hanya bangsa kita saja.

Dengan mengacu beberapa sumber, a.l. Drs. Budihardono, Ir. Bambang W.B. , R. Oesodo, Ir. Wibatsu HS dan sumber lainnya diuraikan dibawah beberapa jenis kayu yang secara tradisional dianggap bertuah. Penyertaan nama latin untuk menambah informasi mengenai jenis kayu tersebut, untuk beberapa nama latin yang dirasa kurang tepat diberi tanda (?).

1. Asam Jawa, Celagi, Tangkal Acem (Tamarindus Indicus Linn)
Pohon Asam sangat popular di Indonesia dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter mencapai 60 – 70 cm. Daun dan buahnya banyak digunakan untuk obat. Asam Kawak adalah buah asam yang telah dibersihkan dari biji dan seratnya kemudian dikukus sekitar 10 menit, diberi sedikit garam, dibentuk seperti bola dan dijemur disinar matahari. Asam kawak ini digunakan untuk obat macam macam, diantaranya penyakit tenggorokan. Bijinya disebut Klungsu, diyakini dapat menolak roh jahat, khususnya dari Kerajaan Kidul. Biji asam yang hitam legam sebanyak 3-9 biji jika ditaruh dalam lampu mobil/motor dipercaya dapat menghindari kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh mahluk halus. Bagian hitam dari teras asam dinamakan Galih Asam, bertuah untuk keselamatan, menolak Jin jahat dan anti tenung. Jika dipukulkan pada seseorang yang mempunyai daya magic hitam maka biasanya akan punah kesaktiannya. Galih Asam hanya baik dipakai oleh pemimpin berhati “Satriya Pandita”, kayu ini juga bagus untuk Warangka Keris.

2. Awar-awar, Dausalo, Bar-abar, Sirih Popar (Ficus Septica Burm)
Perdu yang banyak tumbuh di tempat agak basah ini hampir tumbuh diseluruh Nusantara, dari akar sampai daun mempunyai kegunaan. Akarnya ditumbuk dengan Adas Pulowaras dan airnya diperas dapat digunakan untuk mengobati keracunan ikan, gadung (Dioscorea hispida dennst.) dan kepiting. Jika ditumbuk dengan segenggam akar alang-alang dan airnya diperas merupakan obat muntah yang sangat manjur.

Daun awar-awar sering digunakan untuk menolak setan. Jaman dulu daunnya banyak dimanfaatkan untuk membuat tikee, yaitu daun awar-awar diiris halus kemudian dicampur candu. Dalam bentuk bulatan kecil ini tikee dibakar didalam alat penghisap madat khusus yang dinamakan "bedhutan".

Seringkali pohon awar-awar yang sudah tua bagian terasnya memperlihatkan gambar seperti pelet timaha, bagian ini banyak dicari pecinta keris untuk warangka karena diyakini kayu ini dapat meredam keris/tombak yang panas serta menjauhkan dari gangguan jin jahat dan black magic. Yang perlu diingat kayu ini sangat lunak.

3. Bambu Buntet, Bambu Pethuk (Bambusa Sp, Phyllostachys Sp, Schizostachum Sp, dsb)
Bambu buntet adalah bambu yang buluhnya tidak kosong. Dipercaya tongkat atau potongan bambu ini bertuah menghalau pengaruh roh jahat dari rumah. Bambu pethuk adalah bambu yang kedua ruasnya saling bertemu. Dipercaya siapa saja yang membawa potongan bambu ini akan kesampaian maksudnya, tidak mendapat gangguan dari siapa saja. Rotan pethuk adalah rotan yang buku ruasnya saling berhadapan, khasiatnya sama dengan bambu pethuk. Bambu Carang Gantung adalah bambu yang tumbuh dari rebung dan keluar sebagai pohon bambu kecil kecil, diyakini anti jin jahat dan santet, banyak ditaruh diatas pintu masuk rumah dan jika dipukulkan pada ular akan mati seketika, juga dipercaya bertuah menghindari wabah penyakit menular dan ilmu hitam yang hendak mengganggu pemiliknya.

4. Boga (Ficus Toxicaria Linn ?)
Kayu ini menyerupai kayu Kebak (Ficus Alba Reinw), warnanya putih dan diyakini berkhasiat menglariskan dagangan. Caranya : taruh sepotong kayu ini didalam almari / etalase barang yang dujual, atau dapat juga disimpan dalam peti uang. Jika ditaruh didalam rumah dipercaya pemiliknya tak pernah kekurangan sandang pangan.

5. Bambu Apus Pringgolayan, Wulung & Ori
Bambu Apus (Gigantochloa Apus Kurz) yang tumbuh dibelakang makam Pangeran Pringgoloyo dkampung Pringgalayan, Kotagede, Yogyakarta sejak jaman dulu dipercaya memiliki tuah membuat pekarangan menjadi angker, karena itu sering digunakan untuk mengusir penyewa yang bandel, tidak mau pindah. Biasanya sepotong bambu apus ditanam atau ditaruh dekat pintu rumah, tetapi setelah tujuannya tercapai segera dikembalikan ke Pringgolayan. Menurut juru kunci makam, semua bambu apus di Pringgolayan mempunyai sifat demikian, tetapi sifat baiknya juga ada termasuk jimat penglaris dagang, tumbal keselamatan, menolak jin jahat. Semua tergantung dari permohonannya.

Bambu wulung (Gigantochloa verticillata Munru) dan bambu Ori (Bambusa Bambos Miq) juga dipercaya memiliki tuah menolak setan. Untuk keperluan ini, ambil sepotong buluh bambu yang satu ruasnya tertutup kemudian taruh disisi pintu masuk dan isi buluh bambu itu dengan air cucian beras, potong dlingo bangle, garam dan rumput alang-alang. Setiap kali, misal setiap minggu, isi dengan air cucian beras, sarana ini selain menolak jin jahat juga menolak tuju, tenung dan santet.

Cara lain, ambil bambu ini dalam bentuk tusuk sate (diruncingkan). Masing-masing disudut perkarangan atau rumah tusukan bambu ini kedalam tanah. Taburi garam dan irisan dlingo bangle disekitar tusukan sate ini.

6. Lingsar (Pterocarpus Sp ?)
Pohonnya tinggi besar, tumbuh ditempat kramat Lingga Manik, barat daya desa Kayangan, Kulonprogo, sebelah utara Samigaluh. Dipercaya bisa menolak jin jahat dan memperlancar permohonan yang bersifat kesucian. Kayu Lingsar sepintas seperti Kayu Sengon (Albizzia falcate), bersifat mudah retak karena penggantian cuaca.

7. Klumpit, Klumprit (Terminalia Edulis Blanco ?)
Pohonnya tinggi besar, banyak terdapat dihutan jati, namun kini hampir punah digunakan untuk bahan bangunan yang tidak menuntuk keawetan. Salah satu pohon Klumpit yang masih alami terdapat di Goa Ngrancang Kencono, 7 km barat daya kecamatan Playen termasuk kawasan desa Manggoran Kidul.

Kayu ini dipercaya bertuah memudahkan permohonan yang bersifat duniawi.

8. Wergu (Rhapis Flabelliformis l’Herit)
Palma kipas atau Wergu biasanya tumbuh dalam rumpun yang padat.

Batang berbuku-buku lurus keatas dengan daun daun seperti kipas. Pohon ini berasal dari China, Vietnam, Laos dan Kamboja. Biasanya tumbuh liar atau sebagai tanaman pagar.

Batang yang berat biasanya berasal dari yang berumur 20 th lebih, dijaman dulu kayunya banyak dieksport ke Hongkong dan China. Nama dagangnya Cannes de laurier atau jones du Tonkin. Kualitasnya dibedakan : (1) diameter lebih dari 20 mm, (2) diameter 13-20 mm, (3) diameter 8 – 13 mm. Semua kualitas ini mempunyai panjang 125 mm.

Kayu Wergu dipercaya bertuah menjauhkan ular dan binatang berbisa, selain itu juga memiliki daya menambah kekuatan bagi pemakainya.

9. Songgo Langit (Ochrosia oppositifolia K.Schum & Tridax procumbens Linn.)
Kayu Songgo Langit yang dianggap bertuah adalah kayu Ochrosia oppositifolia K.Schum. yang sudah amat langka, tingginya bisa mencapai 13 – 14 m dengan diameter 30 sm, biasanya tumbuh didaerah pantai atau tepi pantai. Akarnya keras, dari luar tampak kuning tetapi dalamnya tampak kuning pucat. Kayunya berbau untuk obat dan biasanya digunakan untuk obat terutama sakit perut, kejang perut dan rasa tidak enak setelah makan ikan atau udang. Sementara ada yang beranggapan kayu Songgo langit yang berkhasiat ghaib adalah jenis perdu Tridax procumbens Linn. Biasa tumbuh dikarang karang pegunungan kapur. Pohon ini banyak bercabang dan akar batangnya kuat. Berasal dari Amerika Tengah. Tuahnya menolak niat jahat dari orang atau mahluk halus.

10. Pule, Pulai (Alstonia Scholaris R. Br)
Pohon yang bisa mencapai tinggi 49 m, terdapat diseluruh nusantara, yang baik biasanya tumbuh dibawah 900 m d.p.l dan didekat air. Ada 2 macam varietas, yang bertangkai dan tulang daun berwarna hijau dan satunya berwarna ungu. Keduanya memiliki kegunaan sama.

Kayu Pule lunak dan berwarna kuning keputihan, ada jenis kayu pule yang keras, tetapi umumnya lunak. Dalam dunia pengobatan dikenal sebagai obat demam, malaria, penyakit gula darah dan kurang nafsu makan, rasanya pahit seperti Bratawali. Getah pohon Pule sering digunakan untuk mematangkan abses (bengkak) di kulit.

Banyak yang menganggap Pule bertuah untuk menolak unsur jahat dalam rumah atau pekarangan, kadang digunakan untuk mengobati kesurupan, untuk ini ambil cabang yang masih ada daunnya dan cabang pohon awar-awar serta segenggam tumbuhan alang-alang. Cambukanlah pelan-pelan punggung orang yang sedang kemasukan roh jahat itu. Biasanya dia akan segera sadar.

11. Rumput Fatimah (Calligonum Sp)
Rumput fatimah banyak diambil kaum muslim dari Tanah Suci Mekah dipercaya memiliki tuah memudahkan menagih hutang, permohonan pekerjaan, melunakan hati orang dan sebagainya. Ada juga kegunaan lain untuk memperlancar persalinan, caranya : masukan rumput itu kedalam air, biasanya akarnya mengembang, bacalah Al-Fatihah atau Al-Ikhlas sebanyak 100 x selama merendam itu, minumkan segelas ke ibu yang bersangkutan sambil memohon petunjuk Allah.

Rumput ini juga dapat mengobati kanker, stroke ringan dan tekanan darah tinggi, hanya disini digunakan air panas (thermos), bacaannya Al-Fatihah dan Ayat Kursi masin masing minimal 200 x sesudah itu mohon penyembuhan pada Allah dan minumkan satu gelas 3 x sehari sampai sembuh. Oleskan air rendamannya kepada sisakit.

12. Minging
Sejak jaman dulu pohon ini diyakini membuat ular mabuk, disebut juga pohon ular.

Sering disimpan sebagai penghalau ular atau dibuat tongkat kalau masuk hutan, warnanya coklat kehitaman dan agak berat.

13. Cendana (Santalum Album L.)
Aslinya berwarna kuning agak kemerahan, berbau wangi, kayu ini diyakini bertuah didekati arwah leluhur, jangan membawa pusaka yang berwarangka Cendana bilamana menengok orang sakit karena dipercaya dapat mempercepat ajalnya. Tosan aji yang diberi warangka Cendana akan berbau harum dan lebih awet.

14. Drini, Sentigi (Pemphis Acidula Forst)
Kayu Drini dulu banyak dijumpai dipantai selatan Jawa khususnya dipantai Krakal sebelah timur Baron, Gunung Kidul. Menurut beberapa orang, kayu ini juga ditemukan didaerah pantai lain. Karena banyak dicarai maka kayu ini terancam punah karena diyakini bertuah untuk keselamatan, anti black magic, anti gigitan ular dan dijauhi ular. Selain itu rendaman kayu dalam air juga berkhasiat mengobati penyakit perut. Kayu yang kering akan berbau harum bila digosok dengan ujung jari. Jenis Drini dari Pulau Kangean oleh penduduk setempat dinamakan SETIGI, CANTINGGI atau MENTIGI, kayu ini juga banyak dicari untuk pengobatan, karena langka maka harganya sangat mahal, biasanya pohon Drini tumbuh ditanah kapur yang banyak mendapat angin laut atau sering terendam air laut.

15. Dewadaru
Kayu amat langka ini dulu banyak ditemukan di pulau Karimunjawa sebelah utara Jepara, diyakini bertuah menolak hewan buas dan ular, menyembuhkan gigitan ular berbisa dan menjaga keselamatan. Kayu ini kurang baik dibawa dalam perjalanan berperahu karena sifatnya mendatangkan angin taufan.

Ada 2 macam kayu Dewandaru, yang dipercaya asli tumbuh didesa Nyamplung, konon jelmaan dari tongkat yang ditinggalkan Sunan Kudus, seorang wali Kerajaan Demak. Sedangkan Kayu Dewandaru dari Gunung Kawi, walau jenisnya lain dengan yang ada di Karimunjawa tetapi dipercaya berkhasiat sama.

16. Kayu Itam, Kayu Arang, Kayu Ebony (Diospyros spp)
Kayu berwarna hitam atau kelabu berserat serat hitam. Kayu ini, khususnya yang hitam seluruhnya, bertuah menangkal roh jahat dan menciptakan suasana ketentraman. Ruang tamu yang diberi hiasan kayu ebony akan terasa teduh dan damai sehingga kerasan tinggal diruang tersebut.
Pohon Kebak umumnya semacam pohon beringin hutan tetapi tidak bisa besar, namun adapula yang beranggapan pohon ini sejenis waru tetapi daunnya agak muda, sering disebut Tutup (Macaranga sp, Acalypha sp). Kayunya yang ringan dipercaya melariskan dagangan dengan menaruhnya ditempat dagangan atau uang. Kayu ini mudah kena pelapukan / jamur.

18. Kelor, Maronggi, Celor, Keloro (Moringa Olefera Lamk)
Semua bagian pohon ini dipercaya bisa untuk obat. Jika ada orang yang kejang-kejang atau kesurupan atau kena hawa jahat (sawan) dari jenazah, cobalah tengkuknya dan semua persendian tubuhnya digosok dengan remasan daun kelor, biasanya ia segera siuman. Orang yang punya kesaktian tertentu (Black Magic) biasanya juga akan punah bilamana dipukul dengan cabang pohon kelor. Tidak semua pohon kelor memiliki bagian teras yang berwarna hitam yang biasa disebut GALIH KELOR, bagian kayu ini sering dicari sebagai jimat karena dipercaya dapat menunjang ilmu kanuragan dan kebal terhadap senjata tajam. Galih Kelor tidak dianjurkan dibawa oleh mereka yang berpembawaan lekas naik darah.

19. Kengkeng
Banyak dijumpai dilereng Gunung Lawu, dicari karena dapat menyadarkan orang yang kesurupan. Sepotong kayu ini jika ditaruh dekat bayi atau anak kecil bisa menolak roh jahat, roh halus.

20. Krangeyan (Litsea Cubeba Pers)
Pohon setinggi 5 – 15 m dengan batang yang paling besar hanya berdiameter 25 cm ini banyak dijumpai di daerah pegunungan. Mulai dari kulit, daun dan bunganya berbau harum. Kayunya diyakini memiliki daya menolak santet, tenung dan gangguan setan jahat. Untuk pengobatan umumnya baik bagi sakit pernapasan.

21. Liwung (Arenga Pinnata Merr ?, Calyptrocalyk Spicatus ?, Cycas Sp ?)
Kayu ini ditemukan didaerah Gunung Lawu, biasnya berbentuk tongkat atau potongan yang banyak ditawarkan oleh penduduk setempat. Warnanya hitam seperti teras kayu aren, bedanya seratnya agak kasar. Kayu Liwung berasal dari pohon Liwung yang tidak lain adalah pohon Aren laki-laki karena tidak mempunyai bunga betina. Pohon ini amat jarang, sementara ada kayu sejenis yang dipercaya sebagai kayu liwung namun asalnya berbeda. Kayu Liwung dipercaya mempunyai tuah kekebalan terhadap senjata tajam dan tumpul, sangat baik untuk mereka yang mendalami ilmu kanuragan. Sifatnya agak panas, tidak baik untuk mereka yang mudah terpancing emosinya.

22. Lotrok
Sepintas mirip kayu Kebak atau Boga, namun agak kemerahan.

Kayunya ringan dan berasal dari lereng gunung berapi. Dipercaya kayu ini dapat memperlancar pesalinan dan anti black magic namun kadar tuahnya rendah.

23. Mimang
Tidak diketahui nama latinnya, akar mimang menonjol dipermukaan tanah, konon siapa yang melangkahinya akan bingung dan tersesat. Akar mimang ditanam ditanah dibawah pintu masuk dan bagian belakang rumah. Baik akar maupun kayunya dipercaya memiliki khasiat membingungkan orang siapa saja yang melangkahinya.

24. Pamrih & Ringin Sepuh (Ficus Spp)
Kayu Pamrih berasal dari pohon Pamrih yang tumbuh dibekas pertapaan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Beton Kampung Sewu ditepi Bengawan Solo, Surakarta. Menurut legenda dibawah pohon itulah baliau berteduh setiap hari sampai ada bisikan gaib untuk melawan Kompeni Balanda. Kayu Pamrih dipercaya bertuah kepangkatan, kewibawaan dan keberanian, cocok bagi mereka yang berkecimpung di pemerintahan.

Ringin sepuh disini adalah pohon yang tumbuh dihalaman makam raja-raja Mataram di Kota Gede, Yogyakarta. Dinamakan juga “Waringin Tuwo” atau Ringin Sepuh, sejak jaman dulu dipercaya memiliki kekuatan gaib. Daunnya yang jatuh “mlumah kurep” artinya satu jatuh terlentang pada satu sisi sedang satunya pada sisi lain ditambah akar dan sedikit kulit pohon, semuanya dimasukan kedalam kantong kain putih kecil banyak digunakan sebagai zimat keselamatan. Bagi yang mujur, kadang kejatuhan sebuah cabang pohon ini. Kayunya dipercaya memiliki tuah keselamatan, kewibawaan dan derajat kepangkatan. Dijaman dahulu, hampir semua warga Yogya yang akan merantau keluar daerah dibekali bungkusan daun ini. Kalau maju perang atau pergi kedaerah lain, akan kembali dalam keadaan selamat.

25. Nagasari, Penaga Putih, Nagakusuma (Mesua Ferrea Linn)
Pohon ini asalnya dari India, banyak ditanam dihalaman atau kebun dibawah 1300 m dpl didaerah Jawa dan Bali, bisa mencapai tinggi 20 m dengan diameter 50 cm. Yang dianggap bertuah umumnya terdapat di makam-makam tokoh sejarah, misal Raja, Ulama seperti di Imogiri, Kotagede, Kudus dan Gunung Muria. Daun yang muda berwarna merah, duduk berhadapan, bunga besar dengan 4 helai daun mahkota yang berwarna putih, berbau wangi. Sedang buahnya berkulit keras disebut Gandhek berisi 1 – 4 biji. Mulai akar, daun, bunga sampai kulit dan kayu dimanfaatkan untuk obat dan azimat penangkal bahaya.

Kuncup bunga yang masih tertutup disebut sari kurung atau cangkok kurung. Sedang kuncup bunga yang telah terbuka disebut sari mekar atau cangkok mekar. Benang sarinya harum, dinamakan podhisari atau sari naga / sari cangkok. Bunga yang telah diambil benang sarinya ditumbuk halus menjadi obat-obatan disebut sari cangkok. Semua ini menjadi bahan campuran pelbagai obat racikan.

Biji Nagasari juga banyak dimanfaatkan untuk obat luar, caranya biji ditumbuk halus setelah dihilangkan kulit kerasnya, kemudian ditaruh dalam minyak kelapa atau wijen (sesam oil) dan dipanasi. Minyak ini sangat baik untuk luka infeksi, eksim menahun, bengkak bahkan bisul dan segala macam penyakit kulit. Untuk pengobatan sebaiknya dalam keadaan hangat larutan nogosari dalam minyak itu dioleskan pada bagian yang sakit.

Biji Nagasari juga dapat digunakan untuk pengobatan infeksi dalam. Caranya, ambil 3 –5 nogosari, pecah dan tumbuk lalu taruh dalam gelas berikut kulitnya lalu seduh dengan air setengah panas (air termos), diamkan sekitar 5 menit dan setelah dingin diminumkan pada si sakit. Isinya jangan dibuang tetapi isi dengan air panas lagi dan lima jam kemudian diminumkan lagi kemudian ditambah air panas lagi dan minumkan 5 jam kemudian. Air nogosari ini sangat baik untuk mengobati haid yang selalu sakit, pendarahan lambung dan keputihan. Menurut pengalaman banyak orang, segala penyakit yang mempunyai efek panas badan dapat disembuhkan dengan nogosari, baik dengan seduhan dalam air mulai dari biji, serpihan kayu, daun, bunga atau kulit kayunya. Kulit kayu Nogosari berwarna coklat, jika sudah tua menjadi coklat kehitaman atau coklat dengan serat serat hitam. Kayu yang dianggap mempunyai daya gaib istimewa terutama yang dari makam leluhur. Untuk mendapatkannya dianjurkan puasa mutih (hanya makan nasi dan minum air putih) selama beberapa hari. Sebelum memotong kayu, seyogyanya melakukan sesaji selamatan menurut petunjuk penjaga makam.

Kayu Nogosari termasuk keras dan ulet, sebaiknya setelah dipotong jangan dijemur, tetapi setelah agak kering buatlah barang yang diinginkan, misal tongkat, pipa, stick dan sebagainya.

Kayu ini sangat berbahaya jika untuk memukul. Secara spiritual kayu ini bersipat mengembalikan daya yang dilontarkan kepada pemakai. Diyakini kayu ini merupakan kayu yang paling unggul diantara kayu bertuah lainnya. Tuahnya : keselamatan, kewibawaan, pengobatan, perlindungan terhadap orang jahat/jin jahat, binatang berbisa, anti tenung dan black magic. Pemakai kayu ini diharapkan berlaku jujur dan suci, jika tidak maka tindakan negatif nya akan berbalik memukul diri sendiri. Kayu Nagasari mudah dikenal karena jika ujungnya dibakar tidak menyala dan jika direndam air sekitar 10 menit maka permukaannya akan keluar bulu-bulu halus.

Pantangan : Kayu ini jangan sekali-kali dilangkahi wanita atau pria dan seyogyanya kayu ini jangan dilekati benda logam(emas, kuningan, perak) atau gading. Biarkan seperti adanya. Kayu yang tua sangat bagus untuk dibuat mata cincin, khasiatnya sama dengan membawa kayu Nagasari dalam ukuran besar.

26. Rotan Poleng, Rotan Pethuk (Daemonorops Spp, Gleichenia Spp)
Batang rotan yang poleng (bintik hitam) dipercaya bertuah membuat orang kuat berjalan jauh, karenanya dicari untuk dibuat tongkat. Begitu juga dengan rotan pethuk, artinya dua ruas yang saling berhadapan, dipercaya memiliki daya gaib, diantaranya bisa menghilang, kebal terhadap senjata tajam dan menghalau unsur jahat.

Menurut cerita Pangeran Mangkubumi pernah diberi rotan pethuk dan apabila diajunkan maka musuhnya seakan melihat orang dalam jumlah banyak sehingga melarikan diri.

27. Secang (Caesalpinia Bonducella Flemm / C. Sappan Linn)
Pohon secang tumbuh dimana-mana, ditanam sebagai pagar hidup atau pohon liar, pohonnya penuh duri, kayu gubal berwarna putih sedang bagian terasnya berwarna merah darah. Rendaman atau seduhan air panas kayu secang ini berwarna merah dikenal sebagai obat manjur penyakit yang ditandai keluarnya darah seperti demam berdarah, mimisan, muntah darah, berak darah bahkan penyakit darah tinggi, juga untuk menyembuhkan penyakit gula darah (DM), jantung, infeksi ginjal dan lever.

Untuk penyakit jantung, seduhan ini ditambah daun Dewandaru dari Gunung Kawi, anak yang panas dapat didinginkan dengan mengompresnya dengan seduhan air secang. Penyakit stroke yang belum terlambat dapat diberi minuman rebusan kayu secang yang ditambah dengan pohon ceplukan dan sedikit adas pulowaras. Untuk pengobatan penyakit kanker, rebusan secang ditambah serpihan tatal kayu setigi, nogosari dan segenggam rumput lidah ular atau jika tidak ada dapat diganti dengan buah Makutha Dewa. Kayu secang bertuah anti roh jahat, pelarisan dagangan dan menolak santet. Untuk pelarisan seyogyanya semua tempat barang dagangan dan lantai took dipel dengan air rebusan secang dan bagian depan tempat usaha disiram dengan seduhan secang setiap pagi sebelum toko buka.

28. Sempu (Dillenia Sp ?)
Kayu berwarna putih seperti kebak, dipercaya menyembuhkan orang kesurupan, caranya dengan membawa kayu sempu rabalah orang tersebut dan dengan ijin Allah SWT berdoalah agar orang tersebut sadar, atau rendamlah sepotong kayu sempu kedalam air putih, basahilah kepalanya dengan air tersebut dan berdoalah menurut keyakinan anda, semoga orang tersebut bisa sadar. Hal yang sama bisa dilakukan juga dengan menggunakan potongan kayu nogosari.

29. Setigi, Kastigi, Sentigi, Kayu Sulaiman
Banyak ditemukan didaerah berdekatan dengan pantai laut dan biasanya tumbuh ditanah berkapur. Pohon ini daunnya menyerupai daun sawo beludru atau duren yaitu hijau dengan bagian bawah berwarna merah tembaga.

Kayu ini bersifat perempuan, sebaiknya jangan dipakai oleh wanita terlebih yang belum menikah. Kayu ini yang masih segar berwarna putih kemerahan namun lama kelamaan berubah coklat tua dan jika memukul orang hanya menyebabkan pingsan, tidak mati.

Tuah kayu antara lain anti gigitan binatang berbisa, caranya ditempelkan potongan kayu setigi ke bekas gigitan atau sengatan beberapa lama. Juga menolak hama tumbuhan, penyakit menular dan tanah sangar karena pengaruh jin jahat/black magic. Kayu ini bisa juga untuk mengobati penyakit kanker. Ambil serpihan (tatal) kayu setigi, rebus bersama rumput lidah ular-ularan, segenggam daun tapak dara dan adas pulowaras, penderita diminta minum 3 x sehari masing masing 1 gelas. Kayu Setigi relatif ringan namun tenggelam dalam air. Pemakai kayu setigi atau tesek atau pembawa kayu setigi jangan sekali kali masuk air karena bisa tenggelam. Kayu ini banyak terdapat dipantai-pantai khususnya pegunungan kapur yang setiap hari mendapat angin laut.

30. Sodo Saren, Sodo Lanang (Arenga Pinnata Merr)
Lidi daun aren dipercaya memiliki khasiat menghalau jin/setan dan melumpuhkan orang-orang yang memiliki kesaktian karena ilmu hitam. Mereka akan hilang kesaktiannya bila dipukul dengan lidi daun aren, jangan sekali-kali memukul anak dengan lidi daun aren karena salah-salah bisa kena penyakit jiwa yang sulit disembuhkan.

Rumah yang angker atau banyak dihuni hewan pengganggu seperti tikus, ular, kelabang dll, bisa dibersihkan dengan satu ikat lidi aren yang dikebutkan keseluruh penjuru ruangan, lebih baik lagi bila disertai dengan membakar daun trembesi (johar, Cassia siamea Lamk) yang kering dicampur sedikit belerang, biasanya dalam beberapa waktu sudah bebas dari segala gangguan.

Sodo Saren disebut juga sodo lanang, penamaan ini juga diberikan kepada lidi daun kelapa yang jatuh menancap ditanah secara alamiah. Khasiatnya sama dengan lidi pohon aren.

Bila sodo lanang tidak digunakan, taruhlah diatas pintu masuk rumah sebagai penolak bala.

31. Sulastri, Slastri, Sletri, Sulastri, Bintangur Bunut (Calophyllum Soulatri Burm)
Pohon ini bisa mencapai tinggi 30 m dengan diameter 50 cm. Dipelihara orang karena bunganya harum, pohon ini dianggap bertuah yang ditanam di petilasan pemandianLangenharjo, Sukoharjo, Surakarta sebagai peninggalan Sri Sunan PBX.

Sejak jaman dulu daunnya dipercaya dapat merukunkan pasangan suami istri yang selalu cekcok atau tidak rukun, begitu juga kayunya dapat disimpan untuk maksud yang sama. Daun Sulastri sering digunakan untuk penyakit rheumatik sedang kulit kayunya banyak dimanfaatkan untuk campuran jamu penguat badan.

32. Tesek, Tengsek (Rhynchocarpa Monophylla Backer ?)
Kayunya amat keras dan awet, banyak ditemukan dilereng gunung berapi dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter 50 cm, batangnya lurus dan bulat.

Karena banyak diburu orang, sekarang makin langka, dibedakan antara Tesek biasa dan Tesek Wulung, yang pertama kayunya putih, disana sini diwarnai cerat-cerat atau poleng hitam. Tesek lainnya wulung, kulitnya berwarna coklat tapi lama lama menjadi hitam.

Menurut kepustakaan, kayu ini tenggelam di air dan jika diletakan diair mengalir maka ia akan berjalan melawan arus, kayu ini bagus disimpan orang yang sabar dan tidak mudah marah karena bila digunakan untuk memukul walau hanya digunakan sebagai mata cincin, bahayanya tetap ada, orang bisa pingsan sampai mati. Kayu ini biasa dibuat cincin, pipa, tangkai tombak, gantungan kunci dll.

Tuahnya : tahan lama dalam air, diwaktu banjir mengamuk ia bisa tahan jika memakai kayu ini, juga dipercaya anti tanah sangar, anti hama tumbuhan dan anti ilmu hitam, anti upas atau entup (sengatan lebah). Wanita dan Pria boleh memakai kayu ini dan kayu ini bersifat laki-laki, jodoh kayu ini adalah kayu setigi. Kayu Setigi yang terkenal dari Gunung Lawu atau Merapi.

33. Timaha
Kayu Timaha yang berkhasiat adalah yang mengandung pelet.

A. Pelet Kendhit, pelet yang melingkar pada kayu dengan warna yang lebih gelap dari kayu asalnya dan kelihatan mengkilap seperti bara api. Pelet jenis iniberkhasiat membawa kebahagiaan, kemudahan, kekayaan dan melindungi diri dari bahaya dan penyakit bagi pemiliknya.

B. Pelet Tulak, membentuk garis tebal dari atas kebawah dengan warna yang menkilap hitam/coklat tua dan gambar yang ditengah lebih menyala dari gambar yang lain, khasiatnya melindungi pemilik dari senjata tajam.

C. Pelet Pudhak Sinumpet, menyerupai pelet tulak hanya tidak mempunyai gambaran hitam, khasiatnya seperti pelet tulak.

D. Pelet Pulas Kembang, pelet yang menyerupai awan ber-arak dan berkhasiat menolak bahaya dilaut dan sebagai penolak binatang buas disungai (buaya, ular dll).

E. Pelet Dhoreng, gambarnya seperti loreng harimau, berkhasiat pemiliknya menjadi angker/tegar dan disegani. Banyak dicari dengan harga cukup tinggi.

F. Pelet Ngamal, pelet dengan bentuk bintik-bintik besar (ceplok) dengan jarak sedikit jarang satu sama lain. Khasiatnya memberikan kepuasan hidup dan selalu gembira. Pelet ini sedikit memilih dan hanya pejabat yang memakainya.

G. Pelet Pulas Groboh, gambarnya bintik-bintik besar dan kecil. Khasiatnya hampir sama dengan pelet ngamal hanya tidak pemilih.

H. Pelet Beras Wutah, bergambar titik-titik kecil merata pada seluruh kayu, khasiatnya untuk pengasihan (dicintai manusia dan binatang), banyak dicari dan mahal.

I. Pelet Ngirim (Ngingrim) Kembang, gambarnya berbentuk besar dan panjang, khasiatnya dihormati orang, dicintai lawan jenis dan biasanya dipakai oleh yang belum berkeluarga (bisa jejaka, duda).

J. Pelet Gandrung, bentuknya bulat bulat dan tidak teratur dengan warna lebih mengkilat dan terang, pemiliknya hidup hemat dan cermat.

K. Pelet Ceplok Kelor, gambarannya bulat telur dan besar seperti daun kelor, khasiatnya memberi keselamatan pada pemilik.

L. Pelet Ceplok Bantheng, pelet yang hampir menutup seluruh kayu tetapi masih terlihat disana-sini kayu aslinya. Pemiliknya akan selalu dalam keadaan sehat wal-afiat.

M. Pelet Segara Winotan, pelet yang terdiri dari satu, dua, tiga bintik-bintik yang teratur. Khasiatnya dihormati setiap orang dan pelet ini pemilih, hanya pejabat tinggi yang pantas memakainya.

O. Pelet Gana, pelet yang bergambar seperti batu arca, khasiatnya memberi kesejahteraan dan menghimpun semua kebaikan dan kebahagiaan. Dulu hanya dipakai raja atau pejabat tertinggi.

P. Pelet Sembur, pelet dengan gambar titik-titik kecil tersebar diseluruh permukaan kayu, khasiatnya dapat menundukan manusia atau binatang, menghindarkan kemarahan orang lain dan umumnya pelet ini mempunyai kekuatan gaib.

Q. Pelet Nyerat, jenis ini bergambar garis-garis tipis seperti gambar pada marmer, kadang seperti hurup/tulisan. Khasiatnya pemiliknya dapat hidup mandiri, percaya diri dan selalu beruntung serta jaya, dalam berusaha selalu berhasil.

R. Pelet Dewadaru, seperti pelet nyerat, hanya garisnya lebih tebal dan tajam sehingga kadang-kadang sulit membedakan dengan pelet nyerat. Khasiatnya melindungi keluarganya dari mara bahaya, melindungi harta benda dan biasanya pusaka yang memakai pelet ini ditaruh dalam tempat penyimpanan harta. Pelet ini terdapat pada pohon beringin dan mempunyai nilai cukup tinggi dan sangat dihormati. 
Yo.. 

bedah telisik spiritual wasiat nenek moyang dibawah ini!

Uga Wangsit Siliwangi (sunda)

ASAL USUL FILSAFAH TANAH JAWA DWIP

Sejarah Awal Berdiri Kerajaan Padjajaran

Kisah Prabu Siliwangi 

Babad Tanah Sunda 

Senin, 20 Mei 2013

Periode Awal sampai Taruma Nagara

Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.

Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).

Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

(Disarikan oleh : Firman Raharja - 090108)

Keterangan:

  1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.
  2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.
  3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1. 
 
Rujukan Katineung Urang Sunda:
 

Sejarah Tanah Pasundan

Periode Awal sampai Taruma Nagara

Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.

Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).

Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

(Disarikan oleh : Firman Raharja - 090108)

Keterangan:

1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.

2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.
3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1.

Sejarah Tanah Pasundan

Periode Awal sampai Taruma Nagara

Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.

Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).

Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

(Disarikan oleh : Firman Raharja - 090108)

Keterangan:

1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.

2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.
3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1.

Unordered List

Hot News

Sample Text

TV Online

Read more: http://indosoftgame.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-tv-online-di-blogger.html#ixzz2Kbjot8Qu Under Creative Commons License: Attribution Follow us: @BangProHi on Twitter | IndoSoftGame on Facebook

Translater

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget Google Translate by Indosoftgame

Read more: http://indosoftgame.blogspot.com/2012/07/cara-membuat-widget-penerjemah-di-blog.html#ixzz2Kbhx31pH Under Creative Commons License: Attribution Follow us: @BangProHi on Twitter | IndoSoftGame on Facebook

AWAS LUPA WAKTU

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget