Pendidikan Karakter Tanpa Peran Serta Bimbingan dan Konseling???
Dilihat
dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri
lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak
di negeri ini. Untuk itulah, sejak lebih dari satu tahun ke belakang
pemerintah melalui Kemendiknas terus berupaya menggulirkan wacana
tentang pentingnya penerapan pendidikan karakter di sekolah.
Terkait dengan pendidikan di SMP, pada bulan Maret 2010 lalu pemerintah telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul ”Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama”.
Buku ini terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu: Bagian I: Pembinaan
Pendidikan Karakter di SMP (Umum); Bagian II: Pendidikan Karakter secara
Terpadu dalam Pembelajaran di SMP; Bagian III: Pendidikan Karakter
Secara Terpadu melalui Manajemen Sekolah di SMP, dan Bagian IV: Pendidikan Karakter melalui Kegiatan Ekstrakurikuler di SMP.
Sebagai buku terbitan dari lembaga yang
paling bertanggungjawab dalam pengembangan pendidikan nasional, buku ini
tentu akan menjadi bacaan dan pegangan wajib seluruh stakeholder
pendidikan di negeri ini, terutama para praktisi pendidikan di
sekolah-sekolah.
Jika kita telaah isi buku ini secara
seksama, terkesan bahwa pengembangan pendidikan karakter di SMP hanya
dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: (1) pembelajaran; (2) Manajemen Sekolah; dan (3) Ekstra Kurikuler. Visualisasi ketiga pendekatan tersebut, seperti tampak dalam gambar berikut ini:
Gambar: Skema Pendidikan Karakter (Sumber: Kemendiknas.2010)
Melihat skema pendidikan karakter di atas, timbul pertanyaan besar dan kegelisahan pikiran saya, dimanakah sebenarnya posisi bimbingan dan konseling dalam pengembangan pendidikan karakter?
Ketika pertama kali saya mendengar wacana pendidikan karakter
di negeri ini, terus terang saya merasa bangga dan gembira. Dalam benak
saya, mungkin ini akan menjadi momentum terbaik untuk menata dan
mengokohkan layanan Bimbingan dan Konseling
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan kita dan memantapkan
konselor sebagai sebuah profesi yang handal, yang selama ini menurut
hemat saya masih dalam keadaan tertatih-tatih.
Dalam pemahaman saya, jika kita berbicara bimbingan dan konseling di dalamnya sangat kental berbicara tentang karakater. Logika ini juga bisa dibalik, berbicara karakater seharusnya berbicara bimbingan dan konseling.
Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana publik, dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20, Sunaryo, Ketua Umum ABKIN, mengatakan:
Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai (baca: karakter), layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselor tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Bimbingan dan Konseling
memang sangat kental dengan karakter, tetapi setelah membaca buku
panduan dan skema pendidikan karakter, kegembiraan saya agak sedikit
berbeda dengan ketika pertama kali mendengar wacana pengembangan
pendidikan karakter di negeri ini. Semula saya menduga, dengan adanya
pendidikan karakter ini, bimbingan dan konseling akan ditempatkan
sebagai leading sector atau “panglima” dalam
pengembangan karakter di sekolah. Tetapi apa mau dikata, jangankan jadi
panglima, jadi prajurit pun tampaknya masih tetap dipandang sebelah
mata.
LIHAT LEBIH LENGKAP
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/11/28/kurikulum-2013-dimana-posisi-bimbingan-dan-konseling/
0 komentar:
Posting Komentar